Minggu, 10 Juni 2012

Kebijaksanaan Pemerintah

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH

1.   Kebijakan Pemerintah

1.1.  Kebijakan Pemerintah Periode Tahun 1966 - 1969
Pada periode 1966-1969 Pemerintah lebih memusatkan perhatian pada kebijakan mengenai proses perbaikan dan penghapusan semua unsur dari peniggalan pemerintahan orde lama yang mengandung unsur komunisme. Pada masa ini pemerintah berjuang untuk menekan tingkat inflasi yang tinggi karena pemerintahan orde lama.
Rencananya mengenai pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969.
Rencana pembangunan ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.

Faktor yang menghambat/kelemahannya antara lain :
·         Rencana ini tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim
·         Defisit anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi
·         Kondisi ekonomi dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan karena sikapnya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).

Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
·         Dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis dan perkembangan perekonomian Indonesia
·         Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di bidang perdagangan dan kepegawaian
·         Pokok perhatian diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).

1.1.1.       Masa Stabilisasi dan Rehabilitasi (1966 – 1968)

Periode ini dikenal sebagai periode stabilisasi dan rehabilitasi sesuai dengan masalah pokok yang dihadapi, yaitu : Meningkatnya inflasi yang mencapai 650% pada tahun 1965, turunnya produksi nasional di semua sektor, adanya dualisme pengawas dan pembinaan perbankan. Dualisme ini muncul dari struktur organisasi perbankan yang meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan Deputy Menteri Urusan Penertiban bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri Keuangan. (Suroso, 1994).

1.1.2.       Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang : Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
(1)   Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968 (jangka pendek)
Skala Prioritasnya
a) Pengendalian inflasi
b) Pencukupan kebutuhan pangan
c) Rehabilitasi prasarana ekonomi
d) Peningkatan kegiatan ekspor
e) Pencukupan kebutuhan sandang
Komponen Rencananya
a) Rencana fisik dengan sasaran utama :
1. Pemulihan dan peningkatan kapasitas produksi (pangan, ekspor dan sandang)
2. Pemulihan dan peningkatan prasrana ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
b) Rencana Moneter  dengan sasaran utama :
1. Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi pelaksanaan rencana fisik
2. Pengendalian inflasi pada tingkat harga yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
a) Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
b) Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Februari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
1.   Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
2.   Menyeimbangkan/ menurunkan defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
3.   Mengesahkan / memberlakukan undang – undang :
·      UU Pokok Perbankan No.14/ 1967
·      UU Perkoperasian No. 12/ 1967
·      UU Bank Sentral No. 13/ 1968
·      UU PMA tahun 1967 dan PMDN tahun 1968
·      Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967

(2) Program Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970 jangka panjang)
Skala Prioritasnya
1. Bidang pertanian
2. Bidang prasarana
3. Bidang industri/ pertambangan dan minyak
Jangka waktu dan strategi pembangunan
1. Pembangunann jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
2. Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :

1.2.     Periode PELITA I 1969/1970
Kebijaksanaan pada periode Pelita pertama ini dimulai dengan :
a.       Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang eksport dan import
b.       Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap Dolar, dengan sasaran pokoknya adalah :
·         Kestabilan harga bahan pokok
·         Peningkatan nilai ekspor
·         Kelancaran impor
·         Penyebaran barang di dalam negeri

1.3.    Periode PELITA II 1974/1975
Periode ini diisi dengan kebijaksanaan mengenai :
Perkreditan untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, disamping untuk mendorong kemajuan pengusaha kecil/ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil ( KIK )
a.     Kebijaksanaan Fiskal, . dengan cara penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekpor di pasar dunia, serta untuk menggalakkan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri guna mendorong investasi dalam negeri. Hasil dari kebijaksanaan ini diantaranya adalah :
1.     Naikknya cadangan devisa dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar
2.     Naikknya tabungan pemerintah dari Rp 255 milyar menjadi Rp 1.522 milyar .
b.     Kebijaksanaan 15 Nopember 1978 ( KNOP 15 ), yakni kebijaksanaan di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional, serta untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor, yang pada masa ini menjadi lemah karena :
1.      Adanya inflasi yang besamya rata-rata 34%, sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di pasar dunia, akibatnya kurang dapat bersaing _dengan produk sejenis dari negara lain
2.     Adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979
Disamping itu KNOP l5 juga didukung oleh kebijaksanaan devaluasi Rupiah dari Rp 415 $ menjadi Rp 625 $. Kebijaksanaan lain yang mendukung pada periode ini adalah dengan diturunkannya bea masuk untuk komoditi impor yang merupakan komoditi bahan penolong, serta dengan menaikkan bea masuk untuk komoditi impor lainnya
Kebijaksanaan ini juga untuk :
- Penghapusan  daya saing komoditi ekspor di pasarØpajak ekspor untuk mempertahankan dunia untuk menggalakkan penanaman modal asing dan dalam negeri guna mendorong Investasi Dalam Negeri.  Kebijaksanaan 15 November 1978,
- Menaikkan hasil produksi nasional,
Menaikkan daya saing komoditi ekspor yang lemah karena adanya inflasi yang besarnya rata-ratanya 34 % akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain dan adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

1.4.    Periode PELITA III 1979/1980
·         Paket Januari 1982 yaitu mengenai tata cara pelaksanaan Ekspor-Impor dan lalu lintas devisa. Diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor. Kebijaksanaan ini kurang membawa hasil, dikarenakan terjadinya resesi dunia yang juga belum berakhir
·         Paket Kebijaksanaan Imbal Beli (Counter Purchase) mengenai keharusan eksportir maupun importer uar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama. Paket ini dikeluarkan untuk menunjang kebijaksanaan paket Januari di atas. Dalam kebijaksanaan ini tersirat keharusan eksportir maupun importir luar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama. Ternyata kebijaksanaan inipun masih kurang berhasil, karena resesi dunia tersebut. Dengan adanya resesi tersebut menyebabkan naiknya tingkat inflasi. Sehingga tabungan masyarakat menurun, dana untuk investasi menjadi berkurang. Akibat lebih jauhnya adalah turunnya produktivitas dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi menjadi berkurang.
·         Kebijaksanaan Devaluasi 1983 yakni dengan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang dolar dari Rp 625/$ menjadi Rp 970/$ dengan harapan gairah ekspor dapat meningkat sehingga permintaan negara menjadi lebih banyak dan komoditi impor menjadi lebih mahal karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk mendapatkannya. Dengan demikian diharapkan industry dalam negeri dapat berkembang untuk meningkatkan produktivitas. Akibatnya penerimaan pemerintah dari sektor pajakpun dapat ditingkatkan

1.5.    Periode PELITA IV 1984/1985
1)     Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor non-migas. Tindakan yang diambil untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi adalah dengan memberantas pungutan liar, mempermudah prosedur kepabeanan, menghapus dan memberantas biaya-biaya siluman
2)    Paket Kebijaksaan 6 Mei 1986 (PAKEM), dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sektor swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
3)    Paket Devaluasi 1986, ditempuh karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang mengakibatkan penerimaan pemerintah turun.
4)    Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986, merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter dan penanaman modal dengan melakukan penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku, proteksi produksi yang lebih efisien, kebijaksanaan penanaman modal.
5)    Paket Kebijaksaan 15 Januari 1987, melakukan peningkatan efisiensi, inovasi dan produktivitas beberapa sector indutri dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas. o Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), melakukan restrukturisasi bidang ekonomi.
6)    Paket 27 Oktober 1988, Kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
7)    Paket Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan Laut.
8)    Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.

1.6.    Periode PELITA V 1989/1990
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga kerja.
PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994). Periode Pelita V Lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian dan upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Dari sekian banyak kebiksanaan ekonomi yang pernah, sedang dan akan dijalankan oleh pemerintah dengan dukuangan semua pelaku ekonomi di Indonesia, apapun istilahnya dapat dikelompokkan ke dalam Kebijaksanaan Moneter dan Kebijaksanaan Fiskal.
2.   Kebijakan Moneter
Pemerintah melakukan beberapa kebijakan dalam bidang moneter melalui pengaturan tingkat suku bunga dan peredaran uang. Pemerintah melakukan kebijakan ini dengan melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan yaitu Bank Indonesia. Kebijakan Moneter dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu:
Kebijaksanaan Moneter dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Kebijaksanaan Moneter Kuantitatif Dijalankan dengan mengatur uang yang beredar dan tingkat suku bunga dari segi kualitasnya.
Kebijaksanaan ini dijalankan dengan 3 cara, yaitu :
- Kebijaksanaan Fiskal, Penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor di pasar dunia untuk menggalakkan penanaman modal asing dan dalam negeri guna mendorong Investasi Dalam Negeri.
- Kebijaksanaannya mengenai Perkreditan untuk mendorong para eksportir kecil dan menengah, mendorong kemajuan pengusaha kecil atau ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
- Penyebaran Barang di Dalam Negeri.
2. Kebijaksanaan memindah pengeluaran Dalam kebijaksanaan menekan pengeluaran, pengeluaran para pelaku ekonomi diusahakan berkurang, maka dalam kebijaksanaan ini pengeluaran mereka tidak berkurang, hanya dipindah dan digeser pada bidang yang tidak terlalu beresiko memperburuk perekonomian. Kebijaksanaan ini dilakukan secara paksa dan juga rangsangan.
Kebijaksanaan dapat dilakukan secara paksa dengan cara: Menekan tarif atau quota, Mengawasi pemakaian valuta asing.
Jika kebijaksanaan dilakukan secara Rangsangan : Menciptakan rangsangan-rangsangan ekspor, Menstabilkan upah dan harga di dalam negeri, Melakukan Devaluasi mata uang. Devaluasi adalah Suatu tindakan pemerintah dengan menaikkan nilai tukar mata uang Rupiah dan Dolar, devaluasi juga menyebabkan semakin banyak rupiah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan satu unit dolar.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga.
Ada 2 kebijakan moneter yaitu :
* Kebijakan Moneter Ekspansif : Suatu kebijakan untuk menambah jumlah uang yang beredar.
* Kebijakan Moneter Kontraktif : Suatu kebijakan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar atau disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Ada beberapa cara untuk melakukan kebijakan moneter diantaranya :
- Operasi Pasar Terbuka : Cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah.
- Diskonto : Pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum.
- Rasio Cadangan Wajib : Mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.

3.   Kebijakan Fiskal

Jika di dalam kebijaksanaan moneter pemerintah menggunakan elemen uang beredar dan suku bunga untuk mengatur perekonomian, maka kebijaksanaan fiskal adalah suatu tindakan pemerintah di dalam mengatur perekonomian melalui anggaran belanja negara, dan biasanya dikaitkan dengan masalah perpajakan. Meskipun tidak selalu demikian, namun orang lebih melihat kebijaksanaan fiskal sebagai kebijaksanaan pemerintah di sector perpajakan. Kebijaksanaan fiskal ( dalam hal ini melalui perpajakan ) dapat dibedakan dari beberapa segi. Pertama, jika dilihat dari segi cara pembayarannya, sistem pembayaran pajak dibagi menjadi dalam istilah pajak langsung dan pajak tidak langsung. Yang dimaksud dengan pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan pemerintah. kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Ada 2 macam kebijakan fiskal yatu :
* Kebijakan Fiskal Ekspansif : Kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
* Kebijakan Fiskal Kontraktif : Kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya.
Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi, Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.

4.   Kebijakan Fiskal dan Moneter Sektor Luar Negeri
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.

Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.

Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.

Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).

Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).

Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.

Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.

Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian

Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).

Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.

Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.

REFERENSI







Tidak ada komentar:

Posting Komentar